Total Pageviews

Saturday, 23 October 2010

Asal Muasal Terminologi Indonesia

Mengenai asal-usul nama Indonesia, dari hasil penelitian dari Profesor Bob Elson, penulis buku ” The history of the idea of Indonesia”, dikatakan bahwa istilah Indonesia berasal dari peneliti sosial bernama George Samuel Windsor Earl yang menulis tulisan, `On the leading characteristics of the Papuan, Australian, and Malayu-Polynesian nation” pada Journal of the Indian Atrchipelago and Eastern Asia 4 (1850).

Windsor Earl mulanya menyebut ‘Indu-nesians’ bagi penduduk kepulauan nusantara yang berkulit sawo-mateng. Ini termasuk ciri etnografis penduduk yang merupakn bagian dari rumpun Polinesia. Windsor Earl mempermasalahkan bahwa penduduk di gugusan kepulauan nusantara ini tidak dapat disamakan dengan penghuni kepulauan Ceylon (kini Sri Lanka), Maldives atau Laccadives di Samudera Hindia yang berasal dari ras India.

Hal ini dikaitkan dengan penyebutan kepulauan Hindia-Timur yang pertama kalinya di perkenalkan oleh sarjana Inggris James Richardson Logan, yang menyebut gugusan nusantara ini sebagai kepulauan Hindia-Timur, karena sebagian besar dari penghuninya adalah dari ras Melayu yang kemudian berbaur dengan ras Polinesia.

Untuk itu Logan, merupakan orang pertama yang menyebut “Indonesia” bagi nama penghuni dan wilayah gugusan nusantara secara geografis. Iapun membagi Indonesia dalam empat wilayah geografis: Indonesia Barat (Sumatera, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Jawa dan pulau-pulau antara), Indonesia Timur-Laut (Formosa hingga gugusan kepulauan Sulu dan Mindanao, termasuk Mindanao, termasuk Filipina hingga kepulauan Visaya); Indonesia Barat-Daya (dari pantai Timur Kalimantan hingga Papua Niugini, termasuk gugusan kepulauan di Papua Barat, Kai dan Aru); Indonesia Selatan (gugusa n kepulauan selatan Tans Jawa, antara Jawa dengan Papua Niugini atau dari Bali hingga gugusan kepulauan Timor).

Anthropolog Prancis, E.T. Hamy pada 1877 kemudiab mendefinisikan kata “Indonesia” sebagai rumpun pre-Melayu yang menghuni gugusan kepulauan nusantara. Pendapat ini juga di ikuti anthropolog Inggris, A.H. Keane pada 1880. Sebutan Indonesia bagi wilayah dan penghuni gugusan kepulauan nusantara ini juga diperkenalkan oleh Adolf Bastian, ethnolog Jerman pada bukunya Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (terbitan 1884-94). Istilah Indonesia yang dikembangkan oleh Bastian sejak itupun mulai dikembangkan dan sejak 1910´an dipakai oleh antropolog Belanda seperti Wilken, Kern, Snouck Hurgronje, Kruyt, dll, semuanya dengan makna yang sama. Untuk mempelajari Indonesia di dirikan Fakultas Indologi di Leiden.

Terminologi Indonesia kemudian baru diberi makna politis (dalam bentuk ‘Hindia’ yang harus merdeka) oleh Abdul Rivai, Kartini, Abdul Moeis, Suwardi, Douwes Dekker, Cipto, Ratulangie dll antara 1903 s/d 1913. Nama ‘Indonesia’ mulai santer, namun dengan bobot politis yang sama dengan ‘Hindia’, di kalangan mahasiswa asal Indonesia di Leiden semasa Perang Dunia I sekitar 1917. Sam Ratulangie yang juga termasuk dalam kelompok peduli Indonesia di Belanda giat pula mempopulerkan nama Indonesia di tanah air.
Misalnya ketika mendirikan perusahaan asuransi di Bandung dengan nama, Indonesia pada 1925.

Nama Indonesia kemudian mulai menjadi kebanggaan dan berkembang pesat sebagai perangkat perjuangan identitas suatu bangsa yang terdiri dari masyarakat berbudaya majemuk dilandasi semangat solidaritas kebersamaan. Sebagai hasilnya, Indiesche Vereeniging, berubah menjadi Perhimpunan Pelajar Indonesia pada 1918. Nama Partai Komunis Hindia-Timur yang didirikan tahun 1919 berubah menjadi Partai Komunis Indonesia pada 1924. Juga muncul Partai Nasional Indonesia yang di dirikan pada 4 Juli 1927. Terminologi ini kemudian berkembang dan menjadi nama suatu bangsa yang di akui oleh dunia internasional sejak 1920´an yang turut membangkitkan tuntutan nasionalisme kemerdekaan.***

http://klipping.wordpress.com/2009/02/20/166/

Sunday, 3 October 2010

KEHIDUPAN AWAL MASYARAKAT DI KEPULAUAN INDONESIA


KEHIDUPAN AWAL MASYARAKAT DI KEPULAUAN INDONESIA
1. PROSES MUNCUL DAN BERKEMBANGNYA KEHIDUPAN AWAL MANUSIA DAN MASYARAKAT INDONESIA.
Dengan bantuan ilmu Geologi (ilmu yang mempelajari kulit bumi) perkembangan bumi dari awal terbentuknya sampai dengan sekarang, terbagi menjadi beberapa jaman yaitu :
Jaman azoikum (tidak ada kehidupan)
Jaman ini berlangsung sekitar 2500 juta tahun, keadaan bumi masih belum stabil dan masih panas karena sedang dalam proses pembentukan. Oleh karena itu pada jaman ini tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Jaman paleozoikum (kehidupan tertua)
Jaman ini berlangsung sekitar 340 juta tahun, keadaan bumi masih belum stabil dan masih terus berubah, akan tetapi menjelang akhir dari jaman ini mulai ada tanda-tanda kehidupan yaitu dari hewan bersel satu, hewan kecil yang tidak bertulang belakang, jenis ikan, amfhibi, reptil dan beberapa jenis tumbuhan ganggang. Karena itulah maka jaman ini dinamakan pula dengan jaman primer (jaman kehidupan pertama).
Jaman mesozoikum (kehidupan pertengahan)
Jaman ini di perkirakan berlangsung sekitar 140 juta tahun, pada jaman ini kehidupan telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pohon-pohon besar muncul , Amfhibi mengalami perkembangan, bahkan jenis reftil mencapai bentuk yang sangat besar sekali seperti Dinosaurus, Tyrannosaurus, Brontosaurus, Atlantosaurus. Ada pula jenis reftil yang memiliki sayap dan dapat terbang selama berjam-jam yang dinamakan Pteranodon. Jaman ini dinamakan jaman sekunder (kehidupan ke-2). Adapula yang menyebut jaman ini dengan istilah jaman reftil, karena jenis hewan di dominasi oleh reftil, khususnya oleh reftil dengan bentuk yang sangat besar. Pada akhir jaman ini mulai muncul jenis mamalia .
Jaman neozoikum (kehidupan muda)
Jaman ini di perkirakan berlangsung sekitar 60 juta tahun. Jaman ini terbagi lagi menjadi jaman Tersier (kehidupan ke-3) dan Quarter (kehidupan ke-4). Pada jaman ini keadaan bumi telah membaik, perubahan cuaca tidak begitu besar dan kehidupan berkembang dengan pesat.
Jaman Tersier
Pada jaman Tersier, reftil raksasa mulai lenyap, sedangkan mamalia berkembang pesat. Mahluk primate sejenis kera mulai ada kemudian muncul jenis orang utan. Sekitar 10 juta tahun yang lalu muncul jenis hewan primate yang lebih besar dari pada gorila sehingga disebut giganthropus. Hewan ini menyebar dari Afrika ke Asia Selatan, tetapi kemudian punah. Pada masa itu pulau Kalimantan masih bersatu dengan benua Asia, sebagai buktinya jenis babi purba (choeromous) dari jaman ini ditemukan pula di Asia daratan.
Jaman Quarter
Berlangsung sekitar 600 ribu tahun, di tandai dengan adanya tanda- tanda kehidupan manusia. Jaman ini terbagi atas jaman Diluvium (pleistocen) dan jaman Alluvium (holocen).
Jaman diluvium
Berlangsung sekitar 600 ribu tahun yang lalu, dimana mulai muncul kehidupan manusia purba. Jaman ini dinamakan pula jaman glacial (jaman es) karena es di kutub utara - yang menutupi sebagian wilayah Eropa utara, Asia utara dan Amerika utara - mencair.
Pada masa ini Sumatera, Jawa, Kalimantan masih menyatu dengan daratan Asia, sedangkan Indonesia timur dengan Australia. Mencairnya es dikutub telah mengakibatkan pulau-pulau di Indonesia di pisahkan oleh lautan, baik dengan Asia maupun Australia. Bekas daratan asia yang sekarang menjadi dasar laut di sebut paparan Sunda, sedangkan bekas daratan Australia yang terendam air laut di sebut paparan Sahul, kedua paparan tersebut di pisahkan oleh zone Wallace.                www.answers.com
Pada masa ini hewan-hewan yang berbulu tebal seperti Mamouth (gajah besar berbulu tebal) mampu bertahan hidup. Sedangkan yang berbulu tipis migrasi ke wilayah tropis. Perpindahan hewan dari daratan Asia ke Indonesia terbagi atas dua jalur. Pertama melalui Malaysia ke Sumatra dan Jawa. Kedua melalui Taiwan, Philipina ke Kalimantan dan Jawa .
Pada jaman ini terjadi pula perpindahan manusia dari daratan Asia ke Indonesia, yaitu Pitechanthropus Erectus (ditemukan di Trinil) yang sama dengan Sinanthropus Pekinensis (manusia Peking). Demikian juga dengan hasil kebudayaan daerah Pacitan, yang banyak pula di temukan kesamaannya di Cina, Malaysia, Birma. Homo Wajakensis yang menjadi nenek moyang bangsa Austroloid ikut pula menyebar dari Asia ke selatan sampai ke Australia dan menurunkan penduduk asli Australia yaitu bangsa Aborigin.
Jaman alluvium
Pada masa ini kepulauan Indonesia telah terbentuk dan tidak lagi menyatu dengan Asia maupun Australia. Jenis manusia pertama yang migrasi dari Asia ke Indonesia telah tidak ada dan digantikan oleh jenis manusia cerdas (homo sapiens).
"Life in the Universe", Steven Weinberg, Scientific American, Oct. 1994

2. KRONOLOGIS PERKEMBANGAN BIOLOGIS MANUSIA PURBA INDONESIA
Kehidupan manusia pra sejarah dapat di ketahui melalui berbagai fosil. Berdasarkan penelitian manusia tersebut telah memiliki kemampuan untuk mengembangkan kehidupan walaupun masih sangat sederhana dan kemampuan berfikir terbatas.
Berikut ini beberapa penemuan fosil manusia purba di Indonesia.
MEGANTHROPUS PALEO JAVANICUS
Artinya manusia Jawa tertua yang berbadan besar, yang hidup di jawa sekitar 2-1 juta tahun silam. Manusia ini mempunyai ciri biologis berbadan besar, kening menonjol, tulang pipi tebal, rahang besar dan kuat, makanan utamanya adalah tumbuhan dan buah-buahan, hidup dengan cara food gathering (mengumpulkan makanan). Ralph von Koenigswald menemukan fosil dari rahang bawah manusia jenis ini di sangiran (lembah bengawan solo) pada 1941.



PITECHANTHROPUS
Diartikan dengan manusia kera, fosilnya paling banyak di temukan di Indonesia. Mereka hidup dengan cara food gathering dan berburu. Pitechanthropus terbagi kedalam beberapa jenis yaitu : pitechanthropus mojokertensis, robustus, dan erectus.
Pitechanthropus mojokertensis fosilnya ditemukan oleh von Koenigswald pada tahun 1936, dalam bentuk tengkorak anak-anak berusia 5 tahunan di Mojokerto (lembah Bengawan Solo). Hidup sekitar 2,5-2,25 juta tahun lalu. Ciri – ciri biologisnya antara lain: muka menonjol kedepan, kening tebal dan tulang pipi yang kuat.

Pitechanthropus robustus fosilnya di temukan oleh Wiedenreich dan Koenigswald di Trinil (Ngawi, Jatim) pada tahun 1939. Ciri biologisnya hampir sama dengan Pitechathropus mojokertensis, bahkan Koenigswald menganggapnya masih dari jenis yang sama .

Pitechanthropus erectus, (manusia kera berjalan tegak), fosilnya ditemukan oleh Eugene Dubois di Trinil (Ngawi, Jatim) pada 1890. Mereka hidup sekitar 1 juta sampai 600 ribu tahun yang lalu. Ciri biologisnya bertubuh agak kecil, badan tegap, pengunyah yang kuat, volume otak 900 cc, kemampuan berfikir masih rendah. Menurut pendapat Teuku Jakob, manusia ini telah bisa bertutur.

HOMO
Jenis Homo Soloensis, fosilnya ditemukan antara 1931 -1934 oleh von Koenigswald, Ter Haar dan Oppemoorth di sepanjang lembah Bengawan Solo.  Homo soloensis diperkirakan hidup antara 900-200 ribu tahun lalu. Ciri biologis diantaranya bentuk tubuh tegak, kening tidak menonjol. Menurut Koenigswald, jenis ini lebih tinggi tingkatannya dari Pitechanthropus Erectus.

Homo Wajakensis, fosilnya ditemukan oleh Rietschoten dan Dubois antara tahun 1888-1889 di desa Wajak (Tulung Agung). Ciri biologisnya : tinggi mencapai 130-210 cm, berat badan sekitar 30 – 150 kg , volume otak sampai dengan 1300cc. Mereka hidup dengan makanan yang telah di masak walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana .

3. PERIODISASI PERKEMBANGAN BUDAYA PADA MASYARAKAT AWAL INDONESIA BERDASARKAN BUKTI ARKEOLOGI
Berdasarkan Arkeologi (ilmu yang mempelajari peninggalan purbakala dari manusia pra sejarah), perkembangan budaya manusia Indonesia dapat di golongkan menjadi beberapa periode yaitu periode jaman batu (batu tua, batu tengah, batu muda, dan jaman logam perunggu).
JAMAN BATU

Paleolithikum (batu tua)
Ciri dari jaman ini adalah peralatan buat dari batu masih kasar dan belum di asah. Alat dari batu ini di buat dengan cara membenturkan batu yang satu dengan yang lainnya, pecahan batu yang menyerupai kapak kemudian mereka gunakan sebagai alat.
Cara hidup manusia pada jaman plleolithikum adalah: nomad dalam kelompok kecil, tinggal dalam gua atau ceruk karang, berburu, mengumpulkan makanan (food gathering). Menurut Teuku Jacob, bahasa sebagai alat komunikasi telah ada dalam tingkat sederhana.
Berdasarkan tempat penemuannya, jaman palleolithikum terbagi atas kebudayaan Pacitan dan Ngandong. Pada kebudayaan pacitan, peralatan yang di hasilkan adalah kapak genggam, alat penetak (chopper), yang ditemukan oleh Koenigswald pada tahun 1935. Selain di Pacitan, alat – alat tersebut di temukan pula di beberapa daerah seperti : Sukabumi (Jabar) , Parigi, Gombong, (Jateng) , Lahat (Sumsel), Lampung , Bali, Sumbawa, Flores, Sulsel, Kalsel dan Timor. Alat-alat tersebut di temukan pada lapisan yang sama dengan di temukannya fosil Pitechanthropus Erectus.
Pada kebudayaan ngandong, peralatan yang ditemukan adalah flakes (alat serpih) berupa pisau atau alat penusuk. Disamping itu ditemukan pula peralatan dari tulang dan tanduk berupa belati, mata tombak yang bergerigi, alat pengorek ubi, tanduk menjangan yang diruncingkan dan duri ikan pari yang diruncingkan. Alat-alat tersebut ditemukan pula di daerah lain seperti di Sangiran dan Sargen (Jateng). Manusia pendukung kebudayaan Ngandong adalah Homo Soloensis dan Homo Wajakensis, karena di temukan pada lapisan tanah yang sama dengan ditemukannya peralatan kebudayaan Ngandong.


Mesolitihkum (batu tengah)
Ciri dari jaman ini adalah peralatan dari batu yang telah di asah bagian sisi tajamnya. Jaman ini merupakan peralihan dari Palleolithikum ke Neolithikum. Yang menarik dari jaman Messolithikum adalah di temukannya tumpukan sampah dapur yang kemudian di beri istilah Kjokkenmoddinger dan Abris sous roche oleh penelitinya yaitu Callenfels yang juga digelari sebagai bapak prasejarah).
Kjokkenmoddinger adalah tumpukan kulit kerang dan siput yang telah membatu, yang banyak di jumpai di pinggir pantai. Sedangkan Abris sous roche adalah tumpukan dari sisa makanan yang telah membatu di dalam gua.
Cara hidup Messolhitikum adalah sebagian masih food gathering dan berburu tetapi sebagian telah menetap dalam gua dan bercocok tanam sederhana (berladang) menanam umbi-umbian. Mereka juga telah pula menjinakan hewan dan menyimpan hewan-hewan buruannya sebagai langkah awal untuk berternak.
Mereka telah membuat gerabah, mengenal kesenian dalam bentuk lukisan di dinding gua (lukisan gua) ketika mereka telah menetap. Lukisan tersebut berupa gambar telapak tangan berlatar belakang warna merah , gambar babi rusa yang tertancap Panah (di gua Leang-Leang, Sulsel). Penelitiannya dilakukan oleh Heekren Palm  pada tahun 1950 di gua pulau Muna , dimana berhasil di temukan berbagai lukisan manusia, kuda, rusa, buaya, anjing. Sedangkan di Maluku dan Papua ditemukan lukisan gua dalam bentuk gambar cap tangan, kadal, manusia, burung, perahu, mata, dan matahari.
Pada jaman Messolhituikum terbagi atas 3 kelompok budaya : kebudayaan flakes (fleks culture), kebudayaan pebble (pebble culture) , dan kebudayaan tulang (bone culture). kebudayaan ini di dukung oleh manusia dari jenis papua melanesoid yang berasal dari Indo China .
Flakes culture atau peralatan berupa alat serpih, yang telah ada sejak jaman Palleolithikum, menjadi sangat penting pada jaman messolithikum karena memunculkan corak tersendiri.
Terutama setelah mendapatkan pengaruh dari budaya daratan. Dua orang peneliti berkebangsaan Swiss (Fritz Sarasin dan Paul Sarasin ) antara tahun 1893-1896, melakukan penelitian di Sulsel, dan berhasil menemukan fleks . Peralatan sejenis juga di temukan di daerah lain yaitu Bandung (fleks dari obsidian yaitu batu hitam yang indah), Flores, NTT dan Timor. Flakes culture merupakan pengaruh dari Asia daratan yang masuk ke Indonesia melalui jalur timur yaitu Jepang, Taiwan, Philipina, Sulawesi.

Pebble culture, peralatan berupa kapak genggam sumatera (pebble), kapak pendek (hacte curte), batu penggiling, dan pisau. Callenfels pada 1925, melakukan penelitian di pesisir Sumatera dan menemukan peralatan di atas bersama Kjokkenmoddinger. Pebble culture merupakan pengaruh dari kebudayaan Bacson Hoabinh (Indo china) yang masuk ke Indonesia melalui jalur barat yaitu Malaka dan Sumatera.
Bone culture, penelitian di lakukan oleh Callenfels 1928-1931 di Sampung Ponorogo. Peralatan tersebut ditemukan bersama dengan Abris sous roche di dalam gua. Di gua-gua juga ditemukan fosil dari jenis manusia Papua Melanesoide, yang merupakan nenek moyang orang Papua (Irian). Peralatan dan fosil sejenis di temukan pula di Besuki dan Bojonegoro.




Neolhitikum (batu muda)
Ciri jaman batu muda adalah pemakaian peralatan dari batu yang telah diasah halus karena telah mengenal tehnik mengasah. Pada jaman ini terjadi revolusi kehidupan yaitu perubahan dari kehidupan nomad dengan food gathering menjadi menetap dengan food producing.
Cara hidup pada jaman neolithikum adalah hidup menetap, bertempat tinggal dekat sumber air, food producing (menghasilkan makanan dari bercocok tanam dan berternak walaupun berburu masih dilakukan terutama pada waktu senggang), membuat rumah bertonggak dengan atap dari daun-daunan membuat kain dari kulit kayu (ditemukan pemukul kulit kayu), membuat perahu atau rakit, membuat perhiasan dari batu-batu kecil indah.
Menurut penelitian mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu polinesia. Pada akhir jaman ini telah dikenal kepercayaan dalam bentuk Animisme (kepercayaan tentang adanya arwah nenek moyang yang memiliki kekuatan gaib) dan dinamisme (kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap memilki kekuatan gaib). Mereka percaya bahwa setelah mati ada kehidupan lain sehingga di adakanlah berbagai upacara terutama bagi kepala sukunya. Mayat yang dikubur disertai dengan berbagai macam benda sebagai bekal di alam lain, dan sebagai peringatan maka di bangunlah berbagai monument (bangunan) yang rutin diberi sajian agar arwah yang meninggal (leluhur) melindungi dan memberikan kesejahteraan bagi sukunya.
Pada jaman ini pembuatan gerabah memegang peranan penting sebagai wadah atau tempat dalam kehidupan sehari-hari. Adapula gerabah yang digunakan untuk keperluan upacara dan gerabah yang dibuat dengan indah baik bentuk maupun hiasannya.
Berdasarkan peralatannya kebudayaan jaman neolitihkum di bedakan menjadi kebudayaan kapak persegi dan kapak lonjong berasal dari Heine Geldern berdasarkan kepada penampang yang berbentuk persegi panjang dan lonjong.
Kebudayaan kapak persegi
Kebudayaan kapak persegi berasal dari Asia daratan yang menyebar ke Indonesia melalui jalur barat melalui Malaka, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusatenggara. Terdapat kapak persegi ukuran kecil (di gunakan sebagai fungsi kapak) dan yang ukuran besar (digunakan sebagai fungsi beliung atau cangkul). Dibeberapa daerah ditemukan bekas-bekas pusat kerajinan kapak persegi seperti di Lahat (Palembang), Bogor, Sukabumi, Purwakarta, Tasik (Jabar), Pacitan (Jatim). Kebudayaan kapak persegi di dukung oleh manusia Proto Melayu (Melayu Tua) yang migrasi ke Indonesia menggunakan perahu bercadik sekitar 2000 SM (Sebelum Masehi). Yang merupakan keturunan ras Melayu Tua adalah suku Sasak , Toraja, Batak dan Dayak . Di Minahasa (Sulut) di temukan kapak bahu, sejenis kapak persegi di beri leher untuk pegangannya.


Kebudayaan kapak lonjong
Ukuran kapak lonjong ada yang besar (walzenbeli) dan kecil (kinbeli), sering di sebut dengan istilah Neolith Papua karena penyebarannya terbatas di Irian saja oleh bangsa Papua Melaneside. Dari peralatan yang ditemukan, baik kapak persegi maupun kapak lonjong di buat dari batu api (chalcedon), terdapat pula kapak yang tidak terdapat tanda-tanda bekas dipakai dalam bentuk yang indah (sebagai alat berharga, lambang kebesaran atau jimat).

JAMAN LOGAM
Jaman perunggu
Kebudayaan perunggu di Asia Tenggara merupakan pengaruh dari kebudayaan Dongson, yang berkembang di Vietnam. Geldern berpendapat bahwa kebudayaan Dongson berkembang paling muda sekitar 300 SM (sebelum Masehi). Pendukung kebudayaan perunggu adalah bangsa Deuteuro Melayu (Melayu Muda) yang migrasi ke Indonesia sambil membawa kebudayaan Dongson. Keturunannya adalah Jawa, Bali, Bugis, Madura, dll. Bahkan ditemukan beberapa bukti bahwa telah terjadi pembaruan antara Melayu Monggoloide (Proto melayu dengan Deuteuro melayu) dan Papua Melaneside.
Ciri jaman perunggu adalah pemakaian peralatan dari logam yang dikembangkan melalui tehnik bivalve (rangkap) dan a cire perdue (cetak lilin). Namun bukanlah berarti setelah itu peralatan dari batu dan gerabah di tinggalkan karena masih terus dipergunakan bahkan sampai sekarang .
Cirri kehidupan pada jaman perunggu adalah telah terbentuk perkampungan yang teratur dipimpin oleh kepala suku atau ketua adat, tinggal di dalam rumah bertiang yang besar yang bagian bawahnya dijadikan tempat ternak, bertani (berladang dan bersawah) dengan sistem irigasi sehingga pengairan tidak selalu bergantung kepada hujan.
Telah terdapat pembagian kerja berdasarkan keahlian sehingga munculah kelompok undagi (tukang yang ahli membuat peralatan logam). Mereka telah menguasai ilmu Astronomi (untuk kepentingan pelayaran dan pertanian ) dan membuat perahu bercadik.
Beberapa hasil budaya pada jaman perunggu adalah kapak corong (kapak sepatu), candrasa (kapak corong yang salah satu sisinya memanjang), terdapat candrasa dan kapak corong yang indah dan tidak ada tanda-tanda bekas di gunakan. Nekara (seperti dandang tertulungkup), moko (nekara yang lebih kecil), terdapat berbagai perhiasan seperti garis lurus , piln-pilin, binatang, rumah, perahu, lukisan orang berburu, tari dan lukisan orang China (monggol).
Selain itu mereka membuat bejana perunggu (berbentuk seperti periuk yang gepeng) dengan hiasan indah (dalam bentuk garis dan burung merak), arca perunggu (ditemukan di Bangkinag – Sulsel , Bogor - Jabar, dan Riau ) serta perhiasan perunggu seperti gelang, kalung, anting, dan cincin.

Kebudayaan megalithikum (batu besar)
Di sebut kebudayaan batu besar karena pada umumnya menghasilkan kebudayaan dalam bentuk monument yang terbuat dari batu berukuran besar. Kebudayaan ini muncul pada akhir jaman neolhitikum, tetapi perkembangannya justru terjadi pada jaman perunggu (kebudayaan Dongson).
Hasil-hasil dari kebudayaan megalithikum memberikan petunjuk kepada kita mengenal perkembangan kepercayaan, terutama pemujaan terhadap arwah nenek moyang, yang memang telah mulai nampak pada akhir jaman nelithikum.
Berikut ini adalah hasil-hasil budaya megalhitikum :
Menhir atau tugu batu yang terbuat dari batu tunggal, yang berfungsi sebagai tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang sehingga menjadi benda pemujaan. Menhir banyak di temukan di Pasemah, Lahat, Sungai Talang Koto (Sumatera), Nagada (Flores).



Dolmen atau meja batu tempat sesaji, ada yang di sangga oleh menhir dan ada pula yang digunakan sebagai penutup keranda atau sarchopagus, yang demikian dinamakan dengan pandhusa. Sarcophagus (keranda) adalah peti mati tempat penyimpanan mayat yang berbentuk lesung terbuat dari batu utuh yang diberi tutup. Di Bali di temukan keranda yang berisi tulang belulang manusia, barang perunggu serta manik-manik.

Kubur batu, peti mayat yang di pendam di dalam tanah berbentuk persegi panjang dengan ke empat sisinya di buat dari lempengan – lempengan batu. Ada pula yang di sebut waruga, yaitu kubur batu yang berbentuk bulat. Kubur batu banyak di temukan di Kuningan (Jabar), Pasemah (Sumatera), Wonosari (Yogja) dan Cepu (Jateng).

Punden berundak, bangunan pemujaan terhadap roh nenek moyang yang berupa susunan batu bertingkat, banyak ditemukan di Banten, Garut, Kuningan, Sukabumi (Jabar). Dalam perkembangan selanjutnya, punden berundak merupakan dasar dalam pembuatan candi, bangunan keagamaan maupun istana.
Selain itu di temukan pula hasil budaya megalithikum dalam bentuk patung atau arca manusia yang menggambarkan wujud nenek moyang atau arca binatang. Patung banyak di temukan di daerah Pasemah (Sumatera), sementara di di lembah Bada (Sulteng) ditemukan patung manusia (laki- laki dan perempuan).